PELAJARAN BERHARGA DARI TSUNAMI JEPANG #setahuntsunami jepang

by:

DR. Sutopo Purwo Nugroho, APU
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB

Hari ini (11/3) tepat setahun peringatan tsunami Jepang. Gempabumi 9 SR dengan pusat kedalaman 24,4 km di sebelah pantai timur Sendai, Jepang, pada 11 Maret 2011 pukul 12.46 WIB atau 14.46 waktu setempat menimbulkan tsunami. Tinggi tsunami lebih dari 20 meter, tinggi gelombang run up tsunami 40,5 m. Dampak yang ditimbulkan 15.769 orang meninggal, 4.227 orang hilang, dan 470.000 orang mengungsi. Total kerugian ekonomi US$ 220 miliar setara 3,4% dari GDP (Gross Domestic Bruto) Jepang. Atau setara hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Suatu kerugian yang luar biasa besar.

Jepang dianggap sebagai negara yang paling siap menghadapi gempa dan tsunami. Berbagai upaya stuktural dan non struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana. Peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 M. Pantai Sendai telah dilindungi berbagai bentuk perlindungan tsunami mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini. Di Kota Kamaishi dibangun pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter selama 31 tahun. Diharapkan tsunami bisa dikurangi hingga 0%. Namun, ternyata tsunami tetap terjadi.

Pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menjadi program nasional dan dilakukan secara besar-besaran di Jepang. Retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai 79%, sekolah 73%, dan rumah sakit 56% dari jumlah nasional. Bandingkan dengan di Indonesia yang sekitar 70% sekolah berada di daerah rawan gempa dan belum kuat strukturnya. Gladi gempa dan tsunami dilakukan secara rutin di setiap kabupaten/kota. Pemda mengalokasikan anggaran rutin untuk pelaksanaan gladi tersebut.

Setiap 1 Oktober dilakukan gladi nasional. Seluruh komponen masyarakat terlibat. Anak-anak sekolah dan pekerja pabrik diliburkan untuk gladi tersebut. Gladi dinilai sangat efektif. Misal di Distrik Taro, saat gempa dan tsunami tahun 1896 jumlah korban tewas 83%. Namun saat tsunami 1993 jumlah korban berkurang menjadi 20% dan tsunami 2011 hanya 6% dari total jumlah penduduk.

Bangunan umum dan bisnis yang berada di daerah risiko tinggi tsunami didesain tahan gempa dan dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Dengan latihan masyarakat segera evakuasi ke tempat-tempat tinggi di gedung tersebut. Hidup harmoni dengan risiko bencana menjadi pilihan penduduk Jepang.

Pemulihan infrastruktur dilakukan secara cepat. Jalan tol di Tohoku Expressway selesai hanya 11 hari seteleh tsunami. Infrastruktur ini tidak hanya berkontribusi pada transportasi dalam pengiriman barang dan logistik saat darurat, tetapi juga memulihkan ekonomi Jepang. Saat bencana, mass media tidak ada yang menyiarkan hal-hal yang menyedihkan. Mayat dan hal-hal yang membuat masyarakat panik, misal terkait PLTN mass media tidak boleh menyiarkan secara saintifik sehingga masyarakat menjadi panik. Justru berita-berita tentang semangat, kebersamaan, disiplin dan ketangguhan masyarakat yang ditonjolkan mass media. Ini ada kode etik jurnalistik yang selalu dipegang oleh mass media Jepang.

Kita layak untuk belajar dari Jepang hal itu. Terlebih lagi Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang memiliki ranking penduduk berisiko tinggi dari tsunami. Lebih dari 5 juta jiwa hidup dalam ancaman tsunami.

sekian

Tinggalkan komentar